Sri Yulaikah, Mala Murianingrum dan Marjani,
Bit gula (Beta vulgaris) merupakan tanaman penghasil gula nomor dua setelah tebu (Saccharum officinarum). Pada awal abad 19, 50% kebutuhan gula dunia berasal dari bit gula dan 50% lainnya adalah dipenuhi dari gula tebu (Sacharum officinarum). Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya 75% kebutuhan gula dunia berasal dari gula tebu dan hanya 25% berasal dari gula bit (Joersbo, 2007). Sugarbeet biasanya ditanam di daerah sub tropis dengan suhu dingin, tetapi varietas bit yang baru dapat berkembang di daerah tropis dengan suhu panas. Perusahaan benih Sygenta berhasil merakit sugarbeet yang sesuai untuk daerah tropis dan diberi nama sugarbeet tropis (Paul, et al, 2019). Ciri khusus dari sugarbeet adalah cita rasanya manis dengan aroma yang khas. Penampilan pada beberapa varietas sugarbeet mirip dengan lobak, tetapi terdapat perbedaan pada cita rasa dan aroma. Berbeda dengan sugarbeet, lobak memiliki rasa yang agak pedas dan beraroma lebih spesifik.
Negara penghasil sugarbeet tertinggi adalah Rusia dengan produksi 6.080 ton pada tahun 2019 yang diikuti oleh USA, Turki Ukraina dan China dengan produksi sekitar 21.992 ton. Konsumsi gula nasional Indonesia lebih besar dibanding produksi yang dihasilkan dalam negeri sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperoleh dari impor. Impor gula tahun 2019 di Indonesia pada bulan januari 5,9 juta ton. Hal ini berarti bahwa masih terdapat kekurangan kebutuhan gula dalam negeri yang cukup besar, oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan produksi gula dalam negeri baik dari tanaman tebu maupun dari tanaman penghasil gula lainnya seperti sugarbeet.
Pengembangan sugarbeet di Indonesia memerlukan upaya yang terprogram dengan baik agar dapat berperan dalam meningkatkan produksi gula dalam negeri. Selama ini sugarbeet yang berkembang di Indonesia masih terbatas baik jumlahnya maupun skala pengusahaannya. Salah satu daerah yang mengembangkan sugarbeet adalah Kota Batu (Jawa Timur), akan tetapi masih diusahakan dalam skala terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar setempat. Selain itu, di Pasuruan juga terdapat penanaman bit pada skala kecil yang pemanfatannya lebih mengarah ke pengobatan herbal. Selain digunakan sebagai sayur yang dimasak, sugarbeet juga digunakan untuk salad. Di Jawa Tengah sugarbeet diusahakan di sekitar daerah Dieng, sedang di Jawa Barat berkembang di daerah Cipanas, Lembang dan Pengalengan.
Klasifikasi sugarbeet (Beta vulgaris ssp vulgaris).
Sugarbeet ternasuk pada tanaman berbunga berbiji dua (dikotiledon), ordo Caryophyllales, famili Chenopodiceae, genus Beta vulgaris ssp. vulgaris. Dalam catatan sejarah Charl Linner pada tahun 1753 mendirikan genus beta Lin. Pada tahun 1927 pada genus beta dikelompokkan, menjadi empat subdivisi yaitu sub divisi Beta Tranzschel, sub divisi Beta Corollinae, sub divisi Beta Nanae Ulbrich dan sub divisi Beta Procumbentes Ulbrich. Sub divisi Beta Tranzschel memiliki lima spesies yaitu B. vulgaris L ssp vulgaris, B. vulgaris L, ssp. Maritima (L) Arcang, B. vulgaris L.ssp Adanensis, B. Patula Ait dan B. Makrocarpa Guss (OECD, 2006). Sedangkan spesies B.vulgaris ssp vulgaris memiliki anggota varietas yang sudah dibudidayakan dikelompokkan berdasarkan penggunaan dan negara pengembangnya sebagai berikut:
Tabel 1. Nama varietas, Nama umum, Negaran pengembang dan penggunaannya.
Spesies |
Varietas |
Nama umum |
Negara yang mengembangkan |
Penggunaan |
Beta vulagaris |
Cicla |
Spinach beet |
Central, western and southern Europe Asia |
Cooking vegetable |
Beta vulgaris |
Flavescens |
Swiss chard |
Central, western and southern Europe Asia |
Cooking vegetable |
Beta vulgaris |
Vulgaris |
Red beet (beetroot) |
Central, western and southern Europe; Asia; Western India |
Cooking and salad vegetable |
Beta vulgaris |
Lutea |
Yellow beet |
Central, western and southern Europe; Asia |
Salad vegetable |
Beta vulgaris |
Rapacea |
Fodder beet |
Europe; Commonwealth of independent States (CIS); North America |
Fodder plant
|
Beta vulgaris |
Altissima |
Sugar beet |
Europe; CIS; China; Asia; North America; South America |
Beet sugar production |
Sumber: OECD, 2006
Koleksi Plasma nutfah sugarbeet Balittas
Koleksi plasma nutfah sugar beet yang saat ini dimiliki oleh Balittas berasal dari hasil pembelian di toko benih dan terbatas dari daerah Jawa Timur (lima aksesi), Jawa Tengah (dua aksesi) dan Jawa Barat (dua aksesi). Berdasarkan penampilan fenotipik sembilan aksesi plasma nutfah tersebut terdapat keragaman dalam sifat bentuk daun, tepi daun dan ukuran daun. Keragaman juga terdapat pada warna daun yaitu warna merah, hijau dan hijau kemerahan. Sedangkan keragaman tangkai daun terdapat aksesi yang bertangkai daun pendek, sedang hingga panjang, dengan warna merah, hijau dan hijau kemerahan. Bentuk akar atau ubi sugarbeet: ada yang berbentuk bulat dan ada yang berbentuk lonjong. Keragaman fenotipik koleksi sugarbeet dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Keragaman Fenotipik Koleksi Plasma Nutfah sugarbeet Balittas
Aksesi ini, biasanya ditanam di daerah Batu. Jus yang berasal dari ubi Ayumi dipercaya dapat digunakan untuk mengobati penyakit yang berhubungan dengan darah dan sakit perut. Aksesi tersebut juga terkenal sebagai tanaman untuk meningkatkan kadar hemoglobin juga digunakan untuk mengobati penyakit leukimia. Ayumi memiliki tampilan fenotipik daun lonjong dan ubi berwarna merah.
Tabel 2 Hasil analisa sukrosa pada sugarbeet
Aksesi |
Nira |
Brix |
Pol |
% Pol |
HK |
V1 |
0,54 |
18,2 |
3,95 |
5,59 |
30,69 |
V2 |
4,2 |
22,1 |
6,59 |
9,29 |
42,14 |
V4 |
7,2 |
23,3 |
8,36 |
11,8 |
50,64 |
V6 |
4,4 |
21,3 |
6,54 |
9,23 |
43,36 |
V10 |
-2,0 |
6,79 |
1,88 |
0,53 |
7,75 |
V12 |
-1,9 |
7,26 |
2,64 |
0,74 |
10,15 |
Hasil analisis kandungan sukrosa diperoleh nilai pol dengan kisaran 6,78 sampai 23,3 (Tabel 2) dan termasuk dalam kategori rendah. Rendahnya nilai pol kemungkinan karena saat dilakukan analisis tanaman telah berumur >100 hari. Analisi kandungan sukrosa seharusnya dilakukan pada saat tanaman berumur 75 sampai 90 hari setelah tanam.
Gambar 2. Warna ubi dan jus ubi bit pada aksesi nomor 10 dan aksesi nomor 12
Aksesi nomor 10 dan aksesi nomor 12 memiliki warna ubi merah bercampur putih (Gambar 2) dengan nilai pol rendah (1,88 dan 2,64) dikarenakan pada saat pengambilan sample kedua aksesi tersebut telah memasuki stadia tanaman berbunga. Pada saat tanaman sudah berbunga, nutrisi yang berasal dari akar sebagian besar digunakan untuk perkembangan bunga dan tidak lagi digunakan untuk membentukan ubi. Aksesi nomor 6 memiliki warna jus merah tua. Aksesi ini biasa di digunakan sebagai pewarna makanan Akan tetapi aksesi nomer 6 memiliki sifat ubinya cepat busuk dibanding lima aksesi lainnya.
Hasil pengamatan pada berat ubi menunjukkan bahwa berat ubi tertinggi dimiliki oleh aksesi V10 dengan berat 485 gram, sedangkan berat ubi terendah dihasilkan oleh aksesi V1 dengan berat 155 g. Berat ubi rerata untuk seluruh aksesi yang diamati adalah 274,25 gram. Terdapat tiga aksesi yaitu V4, V10 dan V12 yang memiliki berat ubi diatas berat ubi rerata.
Tabel 3. Hasil berat ubi
Aksesi |
Berat Ubi (gram) |
V1 |
155 |
V2 |
226,5 |
V4 |
203 |
V6 |
163 |
V10 |
485 |
V12 |
413 |
Rerata |
274,25 |
Pemeliharaan plasma nutfah sugarbeet perlu upaya peningkatan antara lain dengan mengupayakan agar semua aksesi dapat berbunga. Dari aksesi yang dimiliki hanya dua aksesi yang dapat berbunga yaitu aksesi nomor 10 dan aksesi nomor 12. Sedang tujuh aksesi lainnya perlu diupayakan induksi pembungaan (divernalisasi) agar berbunga (bolting). Induksi pembungaan dapat dilakukan dengan memanipulasi panjang hari dan perlakuan suhu dingin.
Kegiatan pemuliaan
Kegiatan pemuliaan yang dilakukan pada sugarbeet di dunia selama 200 tahun lebih pemuliaan dilakukan melalui pendekatan pemuliaan konvensional. Kadar sukrosa pada varietas bit liar berkisar 4 – 6 %. Dengan melakukan kegiatan pemuliaan konvensional berhasil meningkatkan kadar sukrosa menjadi 12 % pada varietas bit pakan (Gurel et al, 2008). Kemudian dilakukan penelitian bioteknelogi yang dikombinasi dengan metode pemuliaa klasik menghasilkan varietas toleran herbisida, viral tolerant, fungal resistance, nematode resistance, insect resistance, bolting resistance, drought tolerant dan salt tolerant. Sampai saat ini hasil pemuliaan bisa menghasilkan varietas yang dikembangkan dengan kadar sukrosa 20 % (Gurel, et al, 2008).
Sugarbeet merupakan komoditas mandat baru Balittas sebagai sumber lain tanaman pemanis selain tebu dan stevia. Keterbatasan koleksi plasma nutfah merupakan kendala pertama untuk mengembangkan sugarbeet. Memperkaya koleksi plasma nuftah merupakan tahapan selanjutnya yang harus dilakukan. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan eksplorasi di daerah pengembangan sugarbeet di Indonesia. Selain itu perlu dengan melakukan pertukaran koleksi plasma nutfah sugarbeet khususnya dengan negara-negara penghasil sugarbeet tropis, seperti pada komoditas tebu yang melakukan penukaran koleksi plasma nutfah dengan negara penghasil tebu seperti Thailand, Pilipina, Malaysia, Indonesia, USA, Perancis, dan Srilangka. Setelah koleksi terkumpul langkah selanjutnya adalah pengelolan plasma nutfah yang lebih terprogram, meliputi kegiatan rejuvinasi, karakterisasi, evaluasi dan konservasi. Kegiatan rejuvinasi yang saat ini dilakukan terkendala dengan tanaman yang belum bisa berbunga. Untuk itu yang dilakukan adalah melakukan penelitian untuk menginduksi pembungaan pada aksesi aksesi yang belum berbunga. Upaya konservasi lainnya bisa dilakukan dengan memperbanyak bahan tanam melalui kultur jaringan.
Bibliografi
Draycott, A. P. 2006. Introduction. In: Sugar Beet. pp. 1–8. Draycott, A. P., Ed.,Blackwell, Oxford.
Gurel, Ekrem, Gurel, Songul and Lemaux, Peggy G. (2008). Introduction. In 'Biotechnology Applications for Sugar Beet', Critical Reviews in Plant Sciences,27:2, 108 — 140
Joersbo, M. 2007. Sugar beet. In: Biotechnology in Agriculture and Forestry,Volume 59, Transgenic Crops IV. pp. 355–379. Pua, E. C. and Davey, M. R.,Eds., Springer-Verlag, Berlin Heidelberg.
Oecd, (2006), “Section 8 - Sugar Beet (Beta vulgaris, L)”, in Safety Assessment of Transgenic Organisms, Volume 1: Oecd Consensus Documents, Oecd Publishing, Paris. Doi : https://doi.org/10.1787/9789264095380-11-en.
Paul, S.K., Joni, R.A., Sarkar, M.A.R., Hossain, M.S. and Paul, S.C. (2019). Performance of tropical sugar beet (Beta vulgaris L.) as influenced by date of harvesting. Archives of Agriculture and Environmental Science, 4(1): 19-26, https://dx.doi.org/10.26832/24566632.2019.040103.
S.A.Mannan, R.Alam, K.M.R.Karim, H.M .Tarique, R.K.Ganapati, M.A.Rahman, M.M.Rahman, M.A.Hossain and K. Mahamud , 2014. Biodiversity of sugar crop of Bangladesh. Proceeding of the 9th Biennial conference on agro biodiversity of Bangladesh : Challenges and opprtunities. Plant Breeding and Genetics Society of Bangladesh ..89-93 p
Salah F. Abo-Elwafa, Husein M. Abdel-Rahim, Adel M. Abou-Salama, and El-Mahdy A. Teama, 2013. Effect of Root Age and Day-Length Extension on Sugar Beet Floral Induction and Fertility. World Journal of Agricultural Research 1, no. 5 (2013): 90-95. doi: 10.12691/wjar-1-5-4.