Selamat Datang Di Zona Intergritas, Wilayah bebas dari korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) | Selamat Datang Di Zona Intergritas, Wilayah bebas dari korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) | Selamat Datang Di Zona Intergritas, Wilayah bebas dari korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) | Dalam masa pandemi semua stake holder/tamu yang akan berkunjung ke Balittas, harus membawa surat “Rapid Antigen” yang masih berlaku
Kurangnya pengetahuan serta kepedulian petani terhadap lingkungan menjadi salah satu faktor pemicu kerusakan alam, hal ini diperburuk dengan begitu mudahnya petani membeli atau memperoleh obat pertanian kimia sehingga petani dapat menggunakan pestisida kimia secara terus-menerus. Selain rusaknya alam akibat penggunaan pestisida kimia, residu yang tertinggal dalam produk pertanian dapat berbahaya bagi kesehatan dalam jangka panjang. Salah satu solusinya adalah penggantian atau pengendalian terpadu menggunakan pestisida nabati. Pestisida nabati dapat mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman namun bersifat ramah terhadap lingkungan dan relatif lebih aman dari segi kesehatan (Ruskin et al., 1992). Alasan keamanan pestisida nabati dijelaskan oleh Suprapta (2003), bahan dasar pestisida nabati aman bagi manusia dan ternak karna bersifat mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman karena residunya mudah hilang.
Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) merupakan salah satu alternatif pengendalian hama dengan berbagai bahan aktif yang terkandung, mimba merupakan pestisida nabati yang memiliki kemampuan anti-bakterial dan insektisidal sehingga dapat digunakan sebagai pengendali Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).
Kegiatan tebang, muat, angkut (TMA) pada tanaman tebu adalah tiga kegiat- an yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan memungut hasil batang tebu layak giling untuk dibawa ke pabrik. Kegiatan TMA dapat mempengaruhi kualitas kadar gula jika tidak ditangani dengan baik. Kesulitan mendapatkan tenaga tebang tebu yang terampil menjadi titik kritis yang harus segera diatasi (Sandi 2013). Umumnya tenaga tebang lebih banyak dilakukan oleh tenaga kerja yang berumur di atas 50 tahun. Tenaga kerja muda lebih memilih untuk bekerja di bidang lain yang lebih memberikan pendapatan lebih tinggi serta lebih nyaman (Grahara 2014).
Menurut Susila dan Hutagaol (2005), pelaksanaan TMA merupakan ke- giatan pascapanen yang harus mendapat perhatian secara cermat. Risiko ke- hilangan produksi gula karena tebang, muat, dan angkut sangat besar, baik dari aspek kuantitas seperti pasokan bahan baku tebu dan tebu tertinggal/ter-buang, maupun aspek kualitas seperti umur panen tebu yang tepat dan varie-tas tebu yang ditanam.
Kriteria keberhasilan pelaksanaan TMA diukur dari kontinuitas pasokan bahan baku sesuai kapasitas giling dan mutu tebang yang layak giling (Har- yanto et al. 2006). Menurut Bantacut et al. (2012) mutu tebu hasil tebangan sangat dipengaruhi oleh kesiapan prasarana, sarana angkutan, sumber daya tenaga tebang, kondisi lingkungan, kelancaran giling pabrik, dan sistem pengupahan tenaga tebang dan angkutan.
Penebangan tebu pada dasarnya sama dengan prinsip panen tanaman la- innya, yaitu memilih tebu yang masak untuk ditebang terlebih dahulu, dengan asumsi bahwa tebu yang masak akan diperoleh rendemen yang tinggi (Putra 2012; Ditjenbun 2013b). Pelaksanaan tebang tebu akan berjalan dengan lancar bila tebu di lapangan dalam kondisi layak tebang. Menurut Fakhmi et al. (2014) tebu layak tebang apabila kondisi tebu tidak roboh, bersih (daunnya sudah di-klenthek), tinggi tebu cukup (>2m) dan sudah masak (kemasakan >20%).
Tebu yang ditebang dengan kualitas baik (Bhullar et al. 2008), akan ber- pengaruh terhadap pendapatan petani tebu, karena tebu tersebut mempunyai rendemen yang tinggi (Sutrisno 2009; Disbun Jatim 2013). Dari rendemen tersebut maka harga beli dari pabrik juga tinggi, oleh karena itu pengukuran rendemen menjadi hal yang sangat penting bagi pabrik maupun petani tebu (Emam dan Musa 2011). Menurut Trisnobudi et al. (2006), alat pengukur rendemen tebu yang cepat dan akurat menggunakan gelombang ultrasonik dapat diterapkan pada pabrik gula, hal demikian akan sangat membantu pihak pabrik maupun petani tebu. Makalah ini menyajikan tentang peranan tebang, muat, angkut tebu dalam mengurangi susut rendemen.
Pemanenan Tebu
Panen tebu adalah kegiatan memungut seluruh batang tebu yang telah siap di- panen dan dapat diolah menjadi gula dalam keadaan yang optimum (Gambar 1). Ketersediaan tenaga tebang amat penting guna memperlancar kegiatan TMA (Sandi 2013). Selain harus berfisik kuat untuk memuat batangan-ba- tangan tebu yang diikat ke bak truk, penebang harus terampil memotong ba- tang tebu. Kelancaran panen akan menghasilkan penyediaan tebu di pabrik secara berkesinambungan dan dalam jumlah sesuai dengan kapasitas giling, sehingga tebu dapat diolah dalam keadaan relatif segar, kelancaran panen mempengaruhi efisiensi pengolahan.
Gambar 1. Tanaman tebu yang siap dipanen
Menurut Sutarman (2011), cara pemanenan yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan kriteria teknis pemanenan, akan menimbulkan kerugian cukup besar. Sebagai contoh, kesalahan dalam menentukan saat panen, atau teknis pola tebang yang tidak didasarkan pada kemasakan, sebaran lokasi, dan pem- batasan penebangan akan berdampak pada hasil yang lebih sedikit maupun kualitas yang kurang baik. Dua hal pokok yang harus dilakukan agar pemanenan tanaman tebu dapat memenuhi kriteria yang dipersyaratkan oleh pabrik gula antara lain adalah penentuan saat panen dan kegiatan tebang muat angkut.
Seperti tanaman lain, panen tebu dilakukan pada tingkat kemasakan op- timum, yaitu saat tebu dalam kondisi mengandung gula tertinggi (Trisnobudi et al. 2006). Tipe kemasakan tebu dibagi menjadi tiga, yaitu masak awal, ma- sak tengah, dan masak lambat. Pada tebu yang masak awal umur optimalnya antara 8 sampai 10 bulan, masak tengah berumur lebih dari 10 sampai 12 bu- lan, dan masak lambat berumur lebih dari 12 bulan.
Prinsip panen tebu adalah manis, bersih, dan segar (MBS). Untuk me- ngetahui tingkat kemasakan tebu dilakukan analisis kemasakan tebu secara periodik (15 hari sekali) sejak dua atau tiga bulan sebelum mulai giling (Rana et al. 2006). Analisis yang dilakukan dengan cara menggiling contoh tebu di- giling kecil di laboratorium. Setelah dilakukan berbagai perhitungan akan menghasilkan data tentang tingkat kemasakan, rendemen, kemampuan pe- ningkatan rendemen, dan daya tahan tebu.
Dengan menganalisis data tersebut dan memperhatikan faktor lingkungan dan kapasitas giling, dapat disusun jadwal panen berbagai kebun sesuai saat optimum kemasakannya. Penyusunan jadwal panen tersebut dimusyawarahkan dalam Forum Musyawarah Produksi Gula (FMPG) karena petani pemilik tebu mempunyai hak ikut menetapkan saat panen miliknya. Dalam kegiatan TMA termasuk di dalamnya pengaturan jadwal pene- bangan, pemuatan tebangan, dan pengangkutan sampai di pabrik gula. Pada tebu rakyat, panen tebu termasuk dalam tanggung jawab petani, karena petani menyerahkan di tempat penimbangan pabrik gula. Namun dalam pelaksana- annya, sebagian besar petani menyerahkan pelaksanaan panen kepada pabrik gula yang bertanggung jawab atas kepengurusan dan pengaturan kegiatan tersebut. Kadang-kadang petani juga menguasakan pelaksanaan panen kepada Koperasi Unit Desa (KUD) ataupun Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR), tetapi umumnya KUD/KPTR lebih cenderung melaksanakan sebagian saja, yaitu kegiatan angkutan yang kebanyakan dilakukan dengan truk (Susila dan Hutagaol 2005).
Kegiatan TMA merupakan kegiatan kritis dalam proses produksi di pabrik gula, karena tidak tepatnya penanganan dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar (Bantacut et al. 2012). Panen tebu dilakukan dengan mene- bang batang-batang tebu yang sehat (tebu layak giling), mengumpulkan dan mengangkut ke pabrik gula untuk digiling (GMP 2009). Penebangan dapat dilakukan secara manual maupun secara mekanis/tenaga mesin seperti mesin tebang tebu (Manhaes et al. 2014). Penebangan tebu secara manual dilakukan dengan cara membongkar guludan tebu dan mencabut batang-batang tebu se- cara utuh untuk kemudian dibersihkan dari tanah, akar, pucuk, daun kering, dan kotoran.
Teknik pola tebang harus didasarkan pada kriteria kemasakan, sebaran lokasi dan pembatasan penebangan, kotoran tidak boleh lebih dari 5%. Untuk tanaman tebu yang akan dikepras, pangkal tebu disisakan di dalam tanah se- batas permukaan tanah asli agar dapat tumbuh tunas yang akan dipelihara la- gi sebagai tanaman ratoon. Aturan tebang tebu antara lain sebagai berikut: (1) Tebu yang ditebang sudah masak optimal, yaitu kandungan gula maksi-mal sedangkan kandungan asam-asam organik dan gula reduksi minimal, (2) Bagian pucuk batang tebu dibuang, bagian ini kaya dengan kandungan asam- asam amino dan miskin kandungan gula, (3) Ditebang hingga bagian pangkal batang, pada bagian tersebut kandungan gulanya tertinggi, (4) Tebu tunas di- buang karena tebu ini kaya kandungan asam-asam organik, gula reduksi dan asam amino, dan miskin kandungan gula, (5) Tebu bersih dari kotoran, uta- manya daun tebu kering yang mengandung silika, tanah, dan kotoran lainnya, yang dapat mempercepat keausan pada rol-rol gilingan tebu di pabrik gula.
Masalah yang umum timbul dalam tebang muat antara lain adalah penentuan giliran tebang. Hal ini disebabkan karena saat tanam belum sepenuh- nya dapat diatur sesuai dengan tipe kemasakan tebu dan giliranan tebang. Selain itu, saat kemasakan optimum tebu jatuh hampir pada masa yang bersa- maan sehingga penebangan harus diatur secara bergilir. Dengan demikian se- bagian tebu terpaksa digiling lebih awal atau lebih lambat dari umur kemasa- kannya (Ditjenbun 2013a). Pada pabrik gula yang mengolah tebu petani, pe- nentuan gilir tebang sulit diterapkan sehingga pola tebang lebih banyak diten- tukan oleh hasil kompromi untuk memperkecil kemungkinan terjadinya pere- butan giliran tebang (Rohmatulloh et al. 2009). Dalam praktiknya tebang di- selenggarakan berdasarkan jatah bagi kelompok tani. Faktor ini menjadi ken- dala utama untuk menghasilkan tebu giling bermutu tinggi.
Menurut Chougule et al. (2013), faktor lain yang merupakan kendala teknis dalam kegiatan TMA yang optimal adalah lokasi kebun tebu yang jauh dari pabrik gula dengan kondisi jalan yang buruk, sehingga waktu tunggu an- tara tebang dan giling menjadi lama, umumnya melebihi 48 jam. Menurut Fi- lianty et al. (2010), waktu tunggu yang lama menyebabkan tingkat kadar gula dalam tebu mengalami penurunan, hal ini dikarenakan sukrosa yang terkan- dung dalam batang tebu akan terhidrolisis oleh enzim invertase menjadi gula sederhana (Kuspratomo et al. 2012; Destriyani et al. 2014). Untuk itu haruslah diupayakan agar tebu yang dipanen telah sampai di pabrik dalam waktu kurang dari 48 jam (Sohu et al. 2011; Bantacut et al. 2012).
Sarana pelaksanaan tebang muat angkut tebu adalah: (1) Timbangan be- rupa jembatan timbang, (2) Alat pengangkut tebu dari lahan ke pabrik, (3) Alat tebang manual berupa: parang, golok, maupun sabit khusus, dan (4) Alat muat manual oleh manusia atau alat muat mekanis. Sedangkan prasarana tebang muat angkut tebu menurut Nurjanah (2012), adalah: (1) Jalan lori, (2) Jalan mobil, dan (3) Jembatan. Ketiga prasarana tersebut harus dipersiapkan dengan baik, agar dapat memperlancar lalu lintas angkutan tebu dari kebun ke pabrik gula sehingga kontinuitas pasokan tebu sesuai kapasitas giling, dengan sisa pagi maksimal 15% dari kapasitas giling dengan mutu tebang layak giling sesuai standar manis, bersih, dan segar (MBS), sebagai berikut:
Manis (M) dapat dilakukan dengan memanen tebu pada umur minimal 10 bulan dan maksimal 14 bulan sesuai kemasakan tebu. Bebas sogolan (te- bu muda) yang panjangnya kurang lebih 1,50 meter, karena kandungan gulanya rendah. Jika dipanen dengan cara tebang bawah, maka sisa batang bawah maksimal 5 cm dari permukaan tanah.
Bersih (B) dapat dilakukan dengan cara hasil tebangan tebu yang akan di- giling harus bersih dari kotoran-kotoran berupa daun kering dan hijau, pucuk tebu, tebu muda (sogolan) ± 1,50 meter, tebu mati, tanah, akar, dan rumput, atau bahan lain non-tebu.
Segar (S) dapat diperoleh dengan cara hasil tebangan tebu berwarna hijau atau tidak terbakar. Waktu tunda sejak tebu ditebang sampai digiling maksimal 48 jam di kebun dan di pabrik gula dengan sistem first in first out (FIFO). Waktu tunda tebang terjadi karena angkutan tidak lancar.
Tebang Tebu
Menurut Gomathi et al. (2013) tebang tebu dapat dilakukan pada plant cane (tanaman yang berasal dari bibit baru atau PC) maupun ratoon (tanaman yang tumbuh setelah penebangan) dilakukan dalam bentuk tebu segar (green cane). Untuk menentukan waktu tebangan maka faktor yang perlu dipertim-bangkan adalah sebagai berikut: (1) Umur 8–12 bulan dan dapat dilihat dari masa tanamnya, (2) Gejala-gejala visual antara lain daun-daun tanaman tebu secara keseluruhan telah menguning maupun munculnya bunga. Selain itu tipe kemasakan tebu, masak awal, tengah, dan lambat adalah untuk memenuhi daya tampung pabrik pada masa giling.
Pada saat penebangan tebu yang tidak ada hujan, diusahakan menebang pada kebun yang jauh dari pabrik dan pada saat ada hujan, di kebun-kebun yang dekat dengan pabrik gula (Susila dan Hutagaol 2005).
Cara penebangan yang dapat dilakukan terbagi menjadi 2:
Manual: penebangan ini dilakukan dengan menggunakan alat tebang be- rupa sabit (Gambar 2). Alat tebang tebu umumnya dibawa oleh penebang atau bisa juga dipinjam dari pabrik gula atau kebun bersangkutan kemu- dian setelah selesai tebang harus dikembalikan. Cara tebangan adalah “pandas”, artinya tepat pada permukaan tanah.
Mekanis: penebangan dilakukan dengan menggunakan cane harvester (Gambar 3), alat ini hanya digunakan pada pabrik gula swasta maupun perseroan terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) yang mempunyai lahan luas seperti PTPN X dan XI.
Gambar 2. Pemanenan tebu secara manual
Gambar 3. Mesin panen tebu
Muat Tebu
Memuat tebu yang telah ditebang menggunakan alat angkut yang berupa lori maupun truk. Pemuatan tebu tersebut dapat dilakukan dengan dua cara:
Cara mekanis, yaitu menggunakan mesin pemanen tebu yang langsung ditampung ke dalam lori maupun truk pemuat tebu (Singh et al. 2013).
Cara manual, yaitu menggunakan tenaga manusia dengan cara dipanggul, dimuat dalam bentuk bundle cane (ikatan), setiap ikatan terdiri atas 20–25 batang tebu (Shanthy et al. 2014).
Batang tebu yang akan dimuat menggunakan alat angkut ada tiga macam yaitu tebu ikat, tebu urai, dan tebu potong. Adapun penjelasannya seba-gai berikut:
Tebu ikat: Pangkal batang tebu ditebang rata dengan permukaan tanah menggunakan golok, demikian juga pucuk tebunya dipotong pada ruas terakhir. Kurang lebih 30 batang tebu diikat dengan tali bambu atau dapat juga dengan kulit tebu. Namun bila menggunakan kulit tebu membawa sampah ke pabrik sekitar 8%, jika menggunakan tali bambu hanya sekitar 2,87%. Tebu yang sudah diikat dinaikkan ke atas truk kemudian diangkat ke pabrik. Rata-rata tiap orang mampu menebang tebu 2–3 ton per hari. Untuk truk dengan bak terbuka, muatannya dibongkar dengan mengguna- kan cane stacker (mesin pengambil ikatan tebu), sedangkan truk dengan bak kotak (box truck) dibongkar dengan menggunakan tipper (mesin pengangkat truk, agar muatan tebu mengalir ke tempat penampungan).
Tebu urai: Pangkal batang tebu ditebang rata dengan permukaan tanah menggunakan golok dan dipotong bagian pucuknya pada ruas terakhir, selanjutnya tanpa diikat tebu ditumpuk sehingga membentuk onggokan sebesar cakupan mesin pemuat.
Tebu potong: Tebu dipotong-potong sepanjang ± 25 cm, menggunakan mesin potong. Mesin bekerja di setiap petak mulai dari baris tanaman pa- ling tepi, di sampingnya diikuti box truck dan dipastikan bahwa potongan tebu yang keluar dari cerobong mesin potong jatuh tepat di dalam bak truk. Pekerjaan ini dilakukan sampai ujung petak selanjutnya pindah ke baris tanaman berikutnya sampai bak truk penuh. Demikian seterusnya sampai dengan petak selesai. Sistem ini biasanya hanya dioperasikan pa-da saat jumlah tenaga tebang menurun yaitu pada bulan Agustus dan Hari Raya Idul Fitri.
Pemuatan tebu tersebut merupakan salah satu faktor yang sangat menen- tukan dalam proses produksi, untuk itu dalam pelaksanaannya harus direncanakan dengan cermat sehingga waktu tempuh menuju pabrik tidak lebih dari 24 jam (Chougule et al. 2013). Apabila muat tebu tersebut >24 jam, maka tebu akan mengalami susut rendemen (Larrahondo 2006). Adapun tebang muat angkut tebu menggunakan mesin panen dan truk dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Tebang muat angkut tebu menggunakan mesin panen dan truk
Angkut Tebu
Tebu yang diangkut truk masuk pabrik melalui portal yang digunakan sebagai pembatas ketinggian muatannya, jika muatan terlalu tinggi maka truk pengangkut tebu tidak dapat melewati atau sebagian muatan yang di bawa akan jatuh dengan sendirinya karena tersangkut portal pintu masuk tersebut. Selanjutnya truk antri untuk mengecek rendemen/kadar gula dari tebu yang dibawa. Menurut Purina (2010) tebu yang dibawa ke pabrik gula harus memenuhi kriteria:
Tebu yang dibawa ke pabrik bersih, yaitu terbebas dari daun kering dan hijau, pucuk tebu, tebu muda/sogolan, tebu mati, tanah, akar, dan rumput, atau bahan lain non-tebu.
Tebu yang dibawa ke pabrik gula harus segar dan bukan tebu hasil tebangan yang sudah beberapa hari yang lalu atau tebu yang sudah layu.
Apabila truk yang membawa tebu yang tidak sesuai dengan kriteria ter- sebut di atas maka akan dikembalikan atau tidak diterima oleh pabrik gula (Larrahondo et al. 2006). Selanjutnya pada truk yang memenuhi kriteria pabrik, selanjutnya dilakukan pengambilan sampel kadar gula. Untuk mengetahui kadar gula dilakukan dengan mengambil contoh/sampel sebatang tebu secara acak, lalu tebu itu diperas dan perasan air tebu diteteskan ke alat ukur kadar gula (Trisnobudi et al. 2006). Setelah dilakukan cek kadar gula (brix) selanjutnya dicatat di faktur tebang angkut dan dibubuhi cap dan paraf petugas.
Setelah tebu di dalam truk diukur kadar gulanya, maka dilanjutkan de- ngan penimbangan berat tebu. Truk melintasi jembatan timbang, pada saat penimbangan tersebut sopir dan penumpang wajib turun. Berat truk beserta muatan dicatat pada faktur dan dibubuhi cap dan tanda tangan petugas.
Truk selanjutnya antri menuju crane atau alat untuk membongkar muatan truk tebu (Gambar 5). Setelah giliran untuk dibongkar, crane diturunkan selanjutnya sopir/kenek mengaitkan rantai yang telah terpasang di truk saat akan muat tebu. Petugas menyiapkan lori kereta tebu, setelah siap, tebu diderek/diangkat dengan crane dari bak truk dipindah ke lori.
Setelah muatan dipindahkan ke lori, selanjutnya truk tersebut digeser maju ke depan untuk memberi kesempatan bongkar pada truk antrian yang berikutnya. Tebu yang telah berada di lori dibawa masuk ke dalam pabrik. Untuk menarik deretan lori menggunakan lokomotif penarik gerbong lori tebu. Dengan masuknya tebu tersebut ke pabrik, maka kegiatan angkut tebu telah selesai (Nurjanah 2012).
Gambar 5. Pengangkatan tebu dengan crane
Menurut Saputra (2013), penentuan sampling nira tebu untuk menentu- kan rendemen individu, dengan menggunakan alat core sampler (sistem core sampling). Sistem ini mampu memberikan akurasi data yang tinggi, sistem core sampling terbukti mampu menjadi dasar screening kualitas tebu secara cepat bagi pabrik, sehingga kemungkinan untuk menyeragamkan kualitas tebu yang akan digiling di pabrik dapat dilakukan. Penerapan Sistem coresampling untuk mendukung penghitungan rendemen individu yang lebih akurat sudah terbukti dapat menambah keharmonisan hubungan kemitraan antara petani dan pabrik gula. Adanya transparansi proses pengambilan sampel per truk (Gambar 6), analisa di minilab dan kecepatan penghitungan rendemen individu dapat meningkatkan kepercayaan petani pada pabrik gula. Selain itu, karena sampel tebu per truk tidak tercampur, maka petani yang membawa te- bu dengan kualitas baik akan mendapatkan apresiasi rendemen individu yang baik pula, dan sebaliknya petani yang membawa tebu dengan kualitas jelek akan mendapatkan hasil penghitungan rendemen individu yang rendah. Hal ini tentu saja dapat menjadi pemicu bagi petani untuk menyediakan tebu dengan kualitas yang baik (layak giling).
Gambar 6. Pengambilan sampel pada truk yang mengangkut tebu
Penutup
Kegiatan tebang, muat, dan angkut (TMA) tebu merupakan kegiatan kritis dalam proses produksi gula karena tidak tepatnya penanganan dapat me- nimbulkan kerugian cukup besar. Panen tebu dilakukan dengan menebang batang-batang tebu yang sehat, mengumpulkan dan mengangkut ke pabrik gula untuk digiling. Tebang dan muat tebu dapat dilakukan secara manual maupun secara mekanis atau tenaga mesin. Sedangkan angkut tebu menggunakan truk maupun lori. TMA harus direncanakan dengan baik agar tebu bermutu baik dan pelaksanaannya sesuai dengan periode giling pabrik gula serta berkesinambungan.
Tembakau di Madura merupakan komoditas utama yang diusahakan di lahan sawah tegal, dan gunung pada saat musim kemarau. Peranannya dalam aspek ekonomi dan sosial bagi petani, industri rokok, dan pemerintah daerah cukup penting. Saat ini rata-rata setiap tahun luasnya mencapai 47.893 ha. Permasalahan yang sering terjadi di pertembakauan Madura meliputi masalah on farm dan off farm. Di tingkat on farm, masalah yang sering dijumpai adalah penerapan GAP belum optimal, keterbatasan modal usaha tani, SNI tembakau belum efektif, terbatasnya prasarana dan sarana usaha tani, dan pendampingan petani masih kurang intensif. Sedangkan permasalahan off farm antara lain adalah kampanye anti tembakau semakin meningkat, impor tembakau semakin banyak, akses permodalan masih terbatas, dan kelembagaan petani belum kuat. Eksistensi peran penting tembakau madura tentunya dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan, terutama kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan kondusif yang diperlukan untuk mendukung peningkatan tembakau madura antara lain meliputi penyediaan prasarana dan sarana produksi, peningkatan diseminasi inovasi teknologi, dan dukungan untuk membangun pola kemitraan yang sinergis antara petani dan industri hasil tembakau.
Kehidupan lebah madu sangat tergantung pada ketersediaan tanaman sebagai penghasil nektar dan tepung sari (pollen) sebagai pakan lebah. Ketersediaan nektar dan tepung sari yang besar merupakan prasyarat untuk pengusahaan lebah madu. Telah diketahui 33 jenis tanaman yang berpotensi sebagai penghasil pakan lebah madu. Beberapa jenis tanaman di antaranya diketahui hanya mengandung banyak nektar saja atau banyak tepung sari saja. Tanaman wijen merupakan tanaman yang unggul karena di samping banyak mengandung nektar juga banyak mengandung tepung sari, dan disukai lebah karena aromanya (Mulyaningsih, 2000).
Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang termasuk dalam program swasembada. Pengembangannya perlu dipacu dengan memberikan beberapa masukan teknologi, terutama alat dan mesin pertanian. Sebagian besar tanaman tebu di Indonesia adalah tanaman tebu petani atau tebu rakyat. Luas pertanaman tebu 429,929 hektar (Ditjenbun, 2019).
Proyeksi kebutuhan gula konsumsi nasional tahun 2019 sebesar 2,825 juta ton. Produksi nasional pada tahun 2016 baru mencapai 2,212 juta ton. Kekurangan gula konsumsi sebesar 0,613 juta ton masih dipenuhi dari impor. Swasembada gula konsumsi dapat dicapai bila dilakukan perbaikan di bidang on-farm (perluasan areal, perbaikan sarana irigasi dan penyediaan sarana produksi, bahan tanaman unggul, teknologi budidaya serta alsintan), sedangkan di bidang off-farm (kebijakan, revitalisasi dan pembangunan pabrik gula baru) (Anonymous, 2006).
Jalan Raya Karangploso Km 4 , Kotak Pos 199, Kabupaten Malang Jawa Timur, Indonesiabalittas.litbang.pertanian.go.id balittas@litbang.pertanian.go.id balittas.malang@gmail.comPPID BALITTAS +6281 2522 33447T:(0341) 491447 F:(0341) 485121